Sunday, July 24, 2011

Membentuk Karakter Anak di Bulan Ramadhan

Setiap tahun ummat Islam menjumpai satu bulan yang bernama Ramadhan. Bulan yang penuh dengan barokah, rahmat, dan ampunan dari Allah. Ada yang mengatakan bahwa bulan Ramadhan dengan sebutan bulan introspeksi, bulan pelatihan, bulan mendulang pahala, bulan untuk meminimalisir dosa-dosa.
Apapun namanya, yang jelas di dalam bulan Ramadhan ini Allah menjanjikan pahala yang tak terhingga dan memberikan peluang untuk menghapuskan dosa-dosa. Dalam beberapa hadis dikatakan bahwa orang yang berpuasa di bulan Ramadhan akan diampuni dosa yang telah lalu. Begitu juga bagi yang berpuasa di bulan Ramadhan diampuni dosa yang terdahulu. Tentunya ada syarat yang harus dipenuhi, yaitu karena iman dan mengharap ridho dari Allah. Di bulan Ramadhan juga ada malam yang lebih baik dari seribu bulan, yaitu malam Lailatul Qodar.
Ternyata kehadiran bulan Ramadhan masih belum bisa dilaksanakan sesuai apa yang menjadi ketentuan Allah. Masih banyak yang memahami Ramadhan sebagai simbol agenda tahunan tanpa menyentuh pada pembentukan pribadi muslim sesungguhnya. Sehingga yang tampak, begitu Ramadhan berlalu, maka berlalu pula agenda ibadah lainnya.
Ramadhan semestinya bisa dijadikan guru dalam pembentukan karakter anak. Dalam teori psikologi, kegiatan yang dilakukan 21 berturut-turut dengan sepenuh hati, maka akan melahirkan kebiasaan. Karakter adalah kebiasaan yang baik dan itu bisa dimulai dari bulan yang mulia ini. Tapi apa yang terjadi saat ini?
Fenomena yang terjadi di sekitar kita cukup memprihatinkan. Saat ini Kejujuran menjadi barang yang mahal. Kesabaran sulit untuk dicari. Nurani begitu mudah disulut oleh emosi. Di jalan-jalan hampir setiap hari terjadi tawuran antar pelajar, di masyarakat begitu mudahnya diadu domba. Di arena olahraga kehilangan sportifitas, hingga yang kalah murka dan terjadi amuk masa.
Dekadensi moral tampak nyata di depan mata. Rasa hormat anak kepada orang tua telah memudar. Jaring narkoba tertata begitu rapi, dari jaringan internasional hingga di lingkungan sekolah. Pornografi dan pornoaksi mudah dilihat dan sering dijadikan panduan bagi kalangan remaja. Kini pengaruh globalisasi menjadi tak terbendung lagi.
Relakah kita melahirkan generasi yang lemah? Genarasi yang akan menggadaikan kejujuran? Generasi yang kehilangan kesabaran? Generasi yang masuk dalam lingkaran setan? Generasi yang menjauh dari aturan Tuhan? Tidak! orang tua yang berhati emas, tidak akan mengharapkan generasi yang lemah.
Dalam data komnas perlindungan anak didapatkan, bahwa perilaku anak cukup memprihatinkan dan sudah masuk pada wilayah emergency. Menurut data yang dikutip dari Media Indonesia 18 Januari disebutkan bahwa pengakuan remaja di kota besar dalam berhubungan seks pranikah sebagi berikur: 62,7% remaja pernah melakukan, 21,2% remaja pernah aborsi, 93,7% remaja pernah berciuman dan oral seks, 97,0% remaja pernah nonton video porno.
Di sisi lain, narkoba juga menjadi persoalan yang cukup serius untuk ditangani. Dari data Badan Narkotika Nasional (BNN) ada sekitar 3.600.000 jumlah pengguna narkoba di Indonesia. Dari jumlah itu, 41% adalah pengguna pemula, yaitu usia 14 sampai 18 tahun (Republika online, 26/06/2010).
Problem ini menjadi tanggung jawab bersama. Mulai dari pengambil kebijakan di tataran pemerintah pusat hingga di tataran pemerintah paling bawah, di kelurahan yang dibantu oleh RW dan RT. Begitu juga di organisasi sosial keagamaan saling bersinergi. Tidak kalah penting dan memegang peranan yang sangat strategis adalah orang tua di rumah dan guru di sekolah. Ketika semua merasa bertanggung jawab dan saling bersinergi akan mampu membangun generasi yang berkarakter. Dengan pencanangan Pendidikan Karakter di Indonesia, mudah-mudahan keadaan semakin membaik.
Semoga bulan Ramadhan kali ini menjadi momen penyadaran bagi semua elemen masyarakat. Ramadhan bukan sekedar agenda formalitas dan simbolik, tetapi mampu membangun sinergi dalam pembentukan karakter anak.
Materi Bulan September : Anak-anak Mulai Kehilangan Figur Panutan



Dimuat di Majalah Lazizmu bulan Agustus 2011

Sabar dan Pertolongan Allah

Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan kepada Allah (dalam menghadapi ujian) dengan sabar dan mengerjakan salat. Sesungguhnya Allah bersama orang yang sabar. (QS. Al-Baqarah: 153)
Semua orang berharap mempunyai anak yang mudah diatur, sholeh, dan cerdas. Namun untuk sampai ke tangga yang diharapkan itu, ada serangkaian ujian yang harus dilalui oleh orang tua. Ada orang tua yang dengan mudah untuk mencapai yang diharapkan, tetapi tidak sedikit orang tua yang harus berjibaku menghadapi ujian hingga mendapatkan apa yang diharapkan. Namun banyak pula orang tua yang menyerah dan tidak berdaya menghadapi ujian ini.
Anak, bagaimanapun keadaannnya adalah darah daging yang akan menjadi generasi penerus. Memang, ketika anak memberikan agenda yang menjengkelkan, terkadang orang tua merasa kesal. Namun sekali lagi, dia adalah anak yang menjadi investasi bagi orang tua. Persoalan yang diberikan oleh anak kepada orang tua merupakan bagian dari perjuangan hidup.


Allah begitu mudah untuk menjadikan semua anak menurut, baik, dan sesuai dengan harapan orang tua. Namun justru yang diberikan adalah serangkaian persoalan yang harus dipecahkan. Tentu ini menjadi taruhan orang tua sebagai bukti kesabaran.
Pada tingkatan tertentu orang tua akan merasa kesal terhadap agenda persoalan yang diberikan oleh sang buah hati. Namun setelah memahami dan menyadari bahwa apapun yang terjadi dia adalah anak yang perlu diselamatkan, maka dituntut satu kesabaran yang tinggi. Karena dengan kesabaran itulah manusia akan mendapatkan pertolongan dari Allah. Keyakinan inilah yang akan memperkuat orang tua dalam pengasuhan.
Seorang ulama, K.H. Dindin Solahudin dalam bukunya, ”La Tahzan For Parenting” menyatakan bahwa kesabaran yang baik, bermutu, dan terpuji itu sejatinya tidak mengenal kata habis, putus asa, dan menyerah. Ini artinya, bahwa orang tua yang memiliki kesabaran yang bermutu tinggi dan terpuji tidak akan mengenal putus asa dalam mendidik anaknya, meskipun agenda permasalahan selalu diberikan oleh anaknya. Ini adalah bagian dari ujian yang diberikan oleh Allah SWT kepada hambanya yang beriman.
Jauhkan pandangan bahwa kesabaran itu merupakan bukti sebuah kelemahan bagi orang tua dalam mendidik anak. Justru sabar adalah bukti kecintaan, ketahanan, dan kekuatan orang tua di dalam mendidik anak. Kekerasan bukanlah jalan terbaik untuk menangani anak-anak yang mempunyai masalah.
Seringkali kita menghadapi agenda permasalahan anak. Agenda permasalahan itu terkadang muncul dari internal anak kita. Namun tidak jarang permasalahan itu dorongan dari luar. Permasalahan dari luar biasanya tidak terlepas dari kondisi lingkungan yang telah mempengaruhinya. Sehingga anak-anak kita menjadi anak yang berusaha mencari identitas diri, ingin mendapatkan pengakuan. Kalau seperti ini orang tua betul-betul dituntut untuk memahami, mempelajari, dan menjadi teman untuk bisa menyelasaikan permasalahan yang dihadapi. Untuk masalah ini juga membutuhkan kesabaran.
Perlu difahami bersama bahwa sabar bukan menunjukkan seseorang itu lemah, justru sabar adalah bukti bahwa orang tua mempunyai kekuatan, dan keteguhan dalam mendidik anaknya. Sabar merupakan sikap positif yang dimiliki oleh orang tua. Dengan bersikap sabar, maka banyak manfaat yang didapatkan. Sabar akan selalu berbuah kemuliaan dan yakin bahwa Allah selalu menolong orang yang sabar asalkan dengan sandaran yang kuat yaitu dengan salat dan selalu minta pertolongan kepada-Nya.

Dimuat di MAJALAH MAYARA
Bulan Agustus 2011

Jujur, Kunci Sukses

Ada kata bijak yang perlu direnungkan bersama, “Berawal dari kejujuran maka akan berakhir dengan kebahagiaan”. Kata-kata ini cukup sederhana, tetapi jika direnungkan, memiliki makna yang cukup dalam.
Dalam berbagai penelitian, jujur menempati urutan pertama dalam menentukan kesuksesan seseorang. Namun sayang, justru saat ini kejujuran menjadi barang yang langka. Bahkan sulit ditemukan di sekeliling kita.
Beberapa waktu yang lalu ketika saya memberikan pelatihan tentang pendidikan karakter, ada seorang kepala UPTD yang mengatakan, “Kalau Bapak tahu ujian yang terjadi saat ini, maka ngeri.” Saya balik bertanya, “Apa yang menyebabkan ngeri pak?” Beliau hanya menjawab dengan singkat, “Kecurangan”.
Masih hangat dalam ingatan kita saat ujian nasional SD terjadi kasus yang menghebohkan Kota Surabaya bahkan Jawa Timur. Kasus itu bermingu-minggu menghiasi halaman koran nasional. Kecurangan ujian nasional yang berujung pada kerugian untuk banyak fihak. Ini menjadi terapi dan menjadi pelajaran bagi semua pihak yang mencoba untuk menggadaikan kejujuran.
Apa sebenarnya yang menyebabkan seseorang menggadaikan kejujuran? Padahal jelas bahwa kejujuran menjadi kunci kesuksesan seseorang. Ini pertanyaan yang simpel dan perlu untuk direnungkan bersama. Ada beberapa hal yang menyebabkan seseorang berlaku tidak jujur.
Pertama, orang berani menggadaikan kejujuran karena rasa takut. Dari rasa takut ini maka tumbuh einginan untuk tidak jujur. Takut jangan-jangan ananya tidak lulus ujian. Takut jangan-jangan sekolah hasilnya kalah dengan sekolah lain. Takut jangan-jangan kalau nilainya jelek dimutasi, dll. Perasaan takut inilah yang paling dominan tumbuhnya ketidakjujuran.
Orang tua yang suka marah-marah kepada anak menyebabkan anak takut. Ketika anak sudah mulai tumbuh rasa takut, maka akan berusaha untuk mencari banyak alasan agar tidak kena marah. Ketika alasan pertama lolos maka besok akan mencari alasan yang lain. Dengan terbiasa untuk mencari alasan, maka anak sudah terbiasa dengan ketidakjujuran. Akhirnya alasan ketidakjujuran akan menjadi hebit atau kebiasaan dan ini sangat berbahaya.
Dalam sebuah penelitian dikatakan bahwa 99% penyebab kegagalan adalah berasa dari orang yang mempunyai kebiasaan membuat alasan. Karena sesungguhnya alasan itu berakar dari ketidakjujuran.
Masih sedikit diantara kita yag mau mengawal kejujuran anak. Padahal itu adalah potensi dasar yang sudah dimiliki oleh anak, tetapio saat ini sudah mulai dirobohkan oleh orang-orang dewasa di sekitarnya. Alasannya sukup sederhana, yaitu untuk kepentingan orang-orang dewasa.
Ketika pertama kali orang tua atau guru mengajarkan ketidakjujuran kepada anak, mungkin hal yang biasa. Bahkan oleh orang tua atau guru menganggap itu biasa. Tetapi bagi seorang anak itu sangat berat. Jika hal yang berat itu terjadi berkali-kali, maka akan menjadi ringan dan menjadi pembiasaan. Jika demikian, maka orang tualah yang memiliki andil menghancurkan masa depan anak-anaknya sendiri.
Kedua, orang berani menggadaikan kejujuran karena keserakahan. Banyak orang yang berani berbuat curang karena sifat serakah, ingin menumpuk-numpuk kekayaan. Dan tidak sedikit mereka berujung dengan kenistaan. Jangankan di akhirat di duniapun mengalami petaka. Ini pun sebenarnya muncul dari rasa takut, yaitu takut menghadapi hidup.
Banyak anak yang cerdas dengan nilai yang gemilang, itu tidak menjamin anak kelak menjadi sukses. Banyak anak yang terlahir dari orang tua yang kaya, itu juga tidak menjamin anak kelak akan menjadi sukses. Kesuksesan tidak terletak pada kecerdasan yang dimiliki. Begitu juga keturunan, tidak menjadi kesuksesan seseorang. Justru kesuksesan lebih banyak ditentukan oleh mental seseorang. Jika sejak kecil sudah memiliki mental positif, maka kelak akan tumbuh menjadi manusia yang sukses. Siap menghadapi tantangan dengan modal kejujuran, kemampuan, dan ketangguhan.

Dimuat dimuat di MAJALAH MAYARA
Bulan Juni 2011