Monday, October 15, 2012

Televisi Jauh dari Misi Edukasi

Televisi bukan lagi  menjadi barang mahal. Televisi kini menjadi tontonan yang murah meriah di setiap rumah. Mulai dari rumah gedung bertingkat hingga di rumah kontrakan, semua sudah ada televisi. Karena mudah didapat dan banyak memberikan hiburan, sampai-sampai lupa dampak yang ditimbulkan dari televisi.
Saya teringat tulisan  Gus Lutfi (Sidi Miftahul Lutfi Muhammad)  tentang 10 orang yang tidak bahagia. Justru yang membuat saya sangat tertarik ketika beliau menempatkan urutan pertama orang yang tidak bahagia adalah yang kecanduan nonton televisi. Sejak saat itulah saya melakukan sebuah observasi terkait dengan pernyataan beliau, baik secara empiris  maupun secara literer.
Banyak dampak negatif dari menonton televisi dibandingkan dengan pengaruh positif. Televisi tidak lagi sekedar tontonan, tetapi justru membawa misi yang jauh dari nilai-nilai edukasi. Berikut ini ada dampak negatif dari menonton televisi.
Pertama, isi tayangan televisi telah banyak mempengaruhi perilaku masyarakat, khususnya anak-anak remaja. Padahal usia remaja adalah usia mencari jati diri, mencari model yang harus diikuti. Sementara hampir setiap hari yang mendominasi acara televisi adalah sinetron, musik, dan potret buram negeri ini melalui liputan berita. Hampir bisa dipastikan bahwa anak-anak yang tidak menemukan model di rumah dan di sekolah, maka televisi yang akan menjadi pilihan model pola hidup.
Anak-anak kini lebih cepat dewasa dari usia yang sesungguhnya. Lagu-lagu dewasa telah merampas anak-anak untuk segera bertingkah dewasa. Sehingga tidak sedikit anak-anak yang tidak bisa menikmati masa anak-anak dengan sesungguhnya. Belum lagi sinetron, yang menyuguhkan konflik percintaan, kekerasan, mistik, dan permusuhan  anak dengan orang tua.
Begitu juga anak remaja, banyak meniru adegan-adegan yang tidak pantas untuk dilakukan. Namun karena hampir setiap hari menjadi tontonan, lama-lamamenjadi tuntutan. Perilaku  yang  mestinya dianggap tabu kini menjadi biasa. Bahkan tidak sedikit yang kebablasan dan berani menghadapi bahaya.
Dalam sebuah hasil survey komnas perlindungan anak. terkait dengan kasus amoral, khususnya di kota-kota besar dapat diperoleh hasil bahwa anak-anak yang pernah melakukan hubungan badan sebelum nikah mencapai sekitar 62%. Sementara mereka yang pernah berciuman lawan jenis mencapai 93%. Adapun yang pernah nonton film porno mencapai 97%, hampir sempurnah. Ini menjadi keprihatinan bersama bangsa Indonesia. Semua ini tidak bisa lepas dari tontonan yang kini jauh dari tuntunan.
Anak-anak juga sekarang belajar banyak dari tayangan televisi tentang demonstrasi anarkhi, tawuran, dan berita kekerasan lainnya. Tidak kalah serunya adalah dagelan politik yang membuat anak-anak kehilangan figur panutan. Mereka yang mestinya menjadi contoh justru banyak yang dicemooh karena perilaku yang tak senonoh. Itu semua tersaji secara sitematis di televisi. Betapa ngerinya jika hal ini tetap dianggap biasa.
Kedua, tentang kedisiplinan anak. Acara televisi membuat anak-anak tidak disiplin. Dengan tayangan acara yang menarik, anak-anak bisa kehilangan waktu sholat berjamaah, waktu belajar, bahkan bangun pagi karena tidur kemalaman. Dampak yang dialami, anak-anak prestasinya terus menurun.
Lebih berbahaya ketika anak usia balita gandrung nonton televisi, maka waktunya akan banyak habis di depan televisi. Anak-anak balita belum bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Justru mereka hanya memilih mana yang menyenangkan dan mana yang tidak menyenangkan. Ketika televisi dianggap menyenangkan, maka itu akan menjadi pilihan dibanding dengan aktivitas lainnya. 
Tanpa disadari, kadang orang tua lebih nyaman putra-putrinya berjam-jam berada di depan televisi. Selain tidak membuat gaduh di rumah, anak-anak mudah dikontrol keberadaannya. Namun jika dibiarkan, maka anak-anak akan banyak membuang waktu sia-sia. Bahkan anak yang lebih banyak di depan televisi, komunikasinya akan terganggu. Hidupnya pun tidak  produktif dan hanya menjadi penonton abadi.
Ketiga, televisi telah menghancurkan budaya membaca. Ketika nonton televisi menjadi  budaya sehari-hari, maka akan mengganti budaya membaca. Lebih parah lagi ketika anak balita terbiasa nonton televisi, maka jangan diharapkan dia akan senang membaca. Anak akan lebih memilih nonton televisi dibanding membaca.
Hampir semua orang  sepakat bahwa nonton televisi lebih nikmat daripada membaca. Nonton televisi tidak perlu susah-susah sudah mendapatkan hiburan. Apa itu yang sifatnya dagelan, informasi berita, sinetron. Bahkan tidak sedikit yang alam bawah sadarnya mengikuti alur cerita hingga menitikkan air mata. Sementara membaca harus mencari sendiri informasi yang ada di dalam bacaan itu. Namun demikian, membaca dapat menyambung dedrit otak sehingga meningkatkan kecerdasan. Sementar nonton televisi bersifat pasif dan tidak produktif.
Mengingat begitu besar dampak negatif  yang ditimbulkan oleh televisi, maka kita orang tua perlu hati-hati. Sulit diperoleh tayangan edukasi saat ini. Justru yang banyak adalah  pengaruh negatif.  Persoalan ini tidak bisa dianggap sepele. Saat usia 0 sampai 8 (usia tanam) mungkin belum terasa. Nanti mulai terasa ketika memasuki usia 9 sampai 15 (usia model). Ledakan yang lebih dahsyat ketika anak sudah memasuki usia 16 sampai 24 (usia social). Ketika ledakan itu betul-betul terjadi, maka sulit dikendalikan lagi.

Oleh: Drs. Najib Sulhan, MA
         Telah dimuat di Majalah Mayara
 

Anak Menurut Pandangan Al-Qur'an

”Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka, dan Allah mengambil persaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): ”Bukankan Aku ini Tuhanmu” Mereka menjawab, ”Betul, Engkaulah Tuhan kami, kami menjadi saksi..” (Q.S. Al-A’rof: 172)
Setiap anak terlahir dalam keadaan suci, selalu meng-ilahkan Allah. Ini artinya, tidak ada anak yang lahir dengan membawa rangkaian dosa dari orang tua. Namun seiring dengan perjalanan hidup, mereka memiliki tingkah laku yang berbeda. Perubahan tingkah laku ini justru dampak dari pengaruh lingkungan sekitar, baik lingkungan keluarga, pendidikan, maupun masyarakat tempat tinggal anak. Rasulullah bersabda, ”Setiap manusia lahir dalam keadaan suci, maka orang tualah yang menjadikan Yahudi, Majusi, dan Nasrani.”
Sebagai rujukan yang selalu terbukti kebenarannya dan tidak bisa diragukan, Al-Qur’an memberikan gambaran tentang tingkah laku anak sebagai hasil dari proses perkembangan anak. Ada empat model tingkah laku anak menurut al-Qur’an.
a.   Anak sebagai penyejuk mata
Semua orang tua berharap dikaruniai anak yang bisa menyejukkan mata hati. Anak yang selalu memegang tali kebenaran dalam setiap langkah. Anak penyejuk mata hati menjadi investasi bagi orang tua. Baik di dunia maupun di akhirat senantiasa mengawal orang tua dengan doa-doa dan perilaku mulia.
Meskipun kehidupan di dunia putus, doa anak penyejuk mata tetap mengalir. Sebagaimana sabda Rasulullah Muhammad saw.
“Ketika anak Adam meninggal, maka terputuslah semua amal perbuatan, kecuali tiga hal. Sodaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak soleh yang senantiasa mendoakan orang tua”.
Sungguh beruntung jika kita semua memiliki anak penyejuk mata hati. Untuk itulah setiap  saat orang tua selalu berharap lewat doa sepanjang hari.
“Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri dan anak-anak sebagai penyejuk mata/ penyenang hati dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertaqwa. (Q.S. Al-Furqon:74)

b.   Anak sebagai hiasan
Anak yang menjadi hiasan bagi orang tua adalah anak yang sekedar memberikan kebahagiaan di dunia. Anak seperti ini hanya sebagai kebanggaan untuk jangka pendek, yakni berlaku di dunia. Tak ubahnya seseorang memiliki kekayaan berupa harta benda, seperti mobil, rumah, semua itu tidak sampai dibawa mati.
Ketika kehidupan dunia putus, maka putuslah semua urusan dengan anak. Anak sebagai hiasan tak mampu memberikan kontribusi kepada orang tua saat kematian telah tiba. Orang tua hanya membawa amalan yang dilakukan sendiri. Sementara anak, tak mampu berperan dengan doa-doanya dan amal perbuatannya.
Sungguh merugilah kondisi orang tua yang hanya mempunyai anak sebagai hiasan. Sebagai hiasan anak hanya kebanggaan, sebagai benda yang hanya untuk dipamerkan. Kelebihan-kelebihan anak bukan nilai-nilai spiritual. Kelebihan-kelebihan anak masih bersifat duniawi. Anak-anak tidak mengerti cara berbakti. Anak-anak tidak bisa berdoa dan melanjutkan amalan baik yang sudah dilakukan oleh orang tua.betapa ruginya jika ini yang terjadi.
     “Harta dan anak-anakmu adalah hiasan kehidupan dunia.”(Q.S. Al-Kahfi:46)

c.   Anak sebagai fitnah
Anak-anak terkadang tumbuh tidak sesuai dengan harapan orang tua. Malah tidak sedikit anak-anak justru menjadi ujian bagi orang tua. Mungkin di rumah tidak ada masalah dengan orang tua. Tetapi mereka menjadi fitnah dari tingkah pola yang dilakukan di luar rumah. Agenda permasalahan muncul dari sikap dan tingkah laku di luar rumah.
Di rumah, tutur katanya sopan dan tidak menampakkan perilaku yang buruk. Namun ketika di luar pengaruh teman, membuatnya ikut terbawa arus pergaulan yang salah. Ketika sudah berhubungan dengan pihak yang berwajib, maka orang tualah yang terkena dampak negatif dari perilaku anak.
Anak-anak saat ini sulit membedakan baik dan buruk. Justru yang sering menjadi pilihan bagi anak adalah senang dan tidak senang. Jika modalitas spiritual kurang, maka pilihan anak-anak adalah yang menyenangkan dengan mengabaikan nilai-nilai kebenaran. Persoalan inilah yang kini menjadi masalah besar. Perilaku anak tidak lagi mempertimbangkan kebenaran. Banyak dijumpai anak-anak salah arah yang jauh dari harapan orang tua dan harapan agama.
    “Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah fitnah bagimu, di sisi  Allahlah pahala yang besar.”(Q.S. At-Taghobun:15)

d.   Anak sebagai musuh 
Tidak ada satupun orang tua yang ingin melahirkan anak durhaka. Anak yang justru akan menjadi musuh bagi orangtuanya. Jangan mengira anak yang dilahirkan selalu bisa menjaga orang tua. Itulah sebuah harapan.  Namun, perkembangan zaman yang miskin nilai-nilai positif, kerap menyeret anak-anak dalam kedurhakaan.  Berperilaku sadis dan bengis terhadap orang tua. Ketika keinginannya tidak terpenuhi, justru melampiaskan kepada amarah kepada orang tua.
Tidak sedikit anak yang menyeret orang tuanya ke pengadilah karena masalah harta. Ada juga anak yang tega-teganya menodai kehormatan orang tua yang telah melahirkannya. Bahkan ada anak yang tega membunuh orang tuanya sendiri. Naudzubillhi min dzalik.
“Sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka.”(Q.S. At-Taghobun: 14)
Pola pengasuhan dan pendidikan di sekolah sangat memberikan corak dan warna bagi anak-anak. Untuk itu berikan yang terbaik bagi anak-anak. Kelak anak-anak akan memberikan yang terbaik bagi orang tua. Yakin dan selalu minta perlindungan kepada Allah. Insya-Allah anak-anak kita akan diselamatkan dari jurang kehancuran.

Oleh: Drs. Najib Sulhan